Apa itu Hustle Culture? Hai sobat! Apakah kalian pernah mendengar istilah Hustle Culture yang sedang nge-trend belakangan ini?
Hustle Culture adalah nama keren dari Workaholic, yang pertama kali dikenalkan oleh Wayne Oates pada tahun 1971 dalam bukunya yang berjudul "Confession of a Workaholic: The Facts about Work Addiction". Pengertian dari Hustle Culture sendiri adalah suatu gaya hidup baru dimana seseorang menganggap dirinya akan sukses hanya jika dia terus bekerja dengan sedikit waktu untuk beristirahat.
Seperti apa tanda orang yang mengalami fenomena Hustle Culture?
Menurut Glicken dalam karyanya "The Truth about Workaholic" (2012), tanda yang paling jelas dari seorang workaholic adalah ketika pekerjaan dan segala hal yang berkaitan dengan pekerjaan menyita kehidupan seseorang dan mengabaikan segala sesuatunya. Machlowitz dalam bukunya yang berjudul "Workaholic" (1980) menyebutkan terdapat 6 ciri seseorang yang workaholic:
1. Sangat intens, enerjik, dan kompetitif
Orang yang terindikasi workaholic biasanya dalam melakukan pekerjaan atau tugasnya terlihat sangat enerjik, intens atau sangat fokus, dan juga memiliki jiwa kompetitif yang tinggi.
2. Memiliki keraguan pada dirinya sendiri
Biasanya, seseorang yang workaholic sering ragu-ragu apakah pekerjaannya sudah terselesaikan dengan benar? apakah dia boleh untuk beristirahat ketika masih ada pekerjaan yang belum selesai? apakah atasan akan puas dengan pekerjaannya? apakah dia akan sukses jika tidak terus melakukan tugasnya? dan keraguan-keraguan lain dalam dirinya.
3. Bekerja kapanpun dan dimanapun
Seseorang yang workaholic sangat jarang terlihat beristirahat, karena dia akan selalu melakukan pekerjaan dimanapun dan kapanpun.
4. Menggunakan sebagian besar waktunya untuk bekerja
Seperti poin sebelumnya, seorang worcaholic lebih sering terlihat bekerja dibandingkan saat ia beristirahat karena memang sebagian besar waktunya ia gunakan untuk bekerja dan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan.
5. Mengaburkan perbedaan antara kesibukkan dan kesenangan
Saking seringnya si workaholic bekerja secara berlebihan, ia akan sulit untuk membedakan antara mana hal yang membuatnya sibuk dan yang membuatnya senang. Hal ini mungkin terjadi karena ia sudah terbiasa sibuk, jadi sering mengabaikan hal-hal kecil seperti kesenangan itu sendiri.
6. Memilih bekerja daripada beristirahat
Secara umum, orang yang workaholic akan gelisah ketika dirinya tidak punya tugas. Ia akan merasa bersalah ketika dirinya beristirahat dan merasa bahwa dirinya tidak akan sukses jika tidak terus menerus melakukan pekerjaan.
Loh.. terus bedanya dengan pekerja keras apa dong?
Sekilas, memang hustle culture atau workaholic ini mirip dengan kerja keras. Tapi, keduanya sangat berbeda lhoo..
Berikut perbedaan workaholic dan pekerja keras menurut Ahmadi dan Asl (dalam Triani, 2021) dan Saul (dalam Glicken & Robinson, 2013):
Kerja Keras | Workaholic |
Pekerjaan adalah suatu kewajiban untuk memenuhi kebutuhan fisiologis | Pekerjaan adalah sebuah tempat yang aman dari segala hal yang tidak diinginkan |
Mampu memberi batas dan mengelola pekerjaan, sehingga memiliki ruang dan waktu untuk keluarga dan teman | Percaya bahwa bekerja lebih penting dari segalanya, termasuk keluarga dan teman |
Memiliki kontrol atas keinginan dan pikiran untuk bekerja | Terus mengingat pekerjaan setiap detik meski sedang melakukan kegiatan lain |
Mampu beristirahat dari pekerjaannya | Tidak bisa rehat dari pekerjaannya dan tidak bisa berhenti memikirkan pekerjaan |
Apa sih dampaknya bagi diri kita?
1. Hubungan sosial terganggu
Seseorang yang terus-menerus bekerja, seringkali tidak memiliki waktu untuk orang di sekitarnya. Hal ini menyebabkan orang yang workaholic memiliki teman lebih sedikit dibanding mereka yang bekerja dengan waktu normal. Hubungan dengan keluarga juga sangat mungkin untuk merenggang karena sedikitnya waktu yang diluangkan.
2. Risiko penyakit kronis
Berdasarkan salah satu artikel di laman milik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, penduduk Jepang mengalami peningkatan untuk penderita penyakit jantung dan stroke sebanyak 3x lipat akibat kelelahan bekerja. Iwasaki, dkk., (dalam Triani, 2021) menambahkan, ditemukan sekitar 300 kasus kerusakan hati dan otak di Jepang akibat budaya gila kerja.
3. Kesehatan mental menurun
Menurut hasil survey di beberapa negara seperti Amerika, Inggris, Jepang, dan bahkan Indonesia, menunjukkan bahwa jam kerja yang lebih panjang bagi semua usia cenderung akan menimbulkan gangguan kecemasan, depresi, dan stress yang lebih tinggi.
4. Kematian
Terdapat istilah karoshi yang ada di Jepang yang memiliki arti kematian yang timbul akibat beban kerja yang berlebih. Kematian ini dapat disebabkan oleh penyakit kronis maupun bunuh diri karena terlalu tingginya beban kerja seseorang.
Hustle Culture vs Productive Culture
Menurut Herjanto (2007) pada bukunya yang berjudul "Manajemen Operasi", produktivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa baik pengaturan dan pemanfaatan sumber daya untuk mencapai hasil yang optimal. Jam kerja bukan satu-satunya hal yang mempengaruhi produktivitas seseorang, namun juga seberapa besar kualitas dari pekerjaan tersebut.
Kualitas pekerjaan mencakup lingkungan fisik dan sosial kerja, skills dan kemampuan kerja, upah/gaji, prospek karir masa depan, kualitas waktu kerja, dan intensitas pekerjaan (International Lobour Organization (ILO), dalam Triani, 2021). Jadi, percuma saja jika seseorang bekerja secara terus-menerus namun mereka mengabaikan aspek-aspek lainnya.
Unsur dalam produktivitas menurut ILO (dalam Darmayanti, 2016) antara lain:
1. Efisiensi
Menghasilkan hasil maksimal dengan menggunakan tenaga seminimal mungkin
2. Efektivitas
Pekerjaan dapat selesai dengan baik dalam waktu yang singkat
3. Kualitas
Hasil pekerjaan benar-benar dapat berguna dan memberikan dampak positif
Produktivitas sangat sesuai dengan tagline Educa Studio LPG, dimana "P" nya adalah Productive. Educa Studio sangat memahami dampak negatif yang timbul akibat Hustle Culture sehingga menanamkan budaya productive sebagai upaya untuk menghindarkan Hustle Culture dari Educa Team.
Bagi kalian Generasi Kreatif yang anti hustle culture, Ayo Merapat!! Mari kita hapuskan hustle culture dan dengan budaya produktif, kita bangun bersama produk dan layanan pendidikan yang CEMUMU (Cepat, Mudah, dan Muenyenangkan) untuk anak-anak di Indonesia dan dunia! Klik di sini untuk lihat kesempatan karir di Educa Studio.
Sumber:
Darmayanti, E. F. (2016). Analisis Produktivitas Kerja Karyawan Dikaitkan dengan Time Management. Akuisisi 12(2), 42-51.
Fakultas Kedokteran UNAIR. (2022). Mengenal Hustle Culture: Budaya Gila Kerja Generasi Muda. Universitas Airlangga. diunduh dari: https://fk.unair.ac.id/mengenal-hustle-culture-budaya-gila-kerja-generasi-muda/
Glicken, M. D. (2012). The Truth about Workaholics. Diunduh dari: http://www.careercast.com/career-news/truth-about-workaholics
Glicken, M. D., & Robinson, B. C. (2013). Workaholics: Treating Worker Dissatisfaction During Economic Change, 107–121. doi:10.1016/b978-0-12-397006-0.00006-3
Machlowitz, M. (1980). Workaholic: Living with Them, Working with Them. Boston: Addison-Wesley.
Triani. (2021). Work-Life (Im)Balance: Memahami Hustle Culture Melalui Perspektif Ekonomi. Diunduh dari: https://himiespa.feb.ugm.ac.id/work-life-imbalance-memahami-hustle-culture-melalui-perspektif-ekonomi/