Pada masa sekarang ini dimana persaingan semakin ketat, setiap orang dituntut untuk menjadi produktif agar dapat mengikuti arus. Akan tetapi tidak semua orang paham makna "produktif" yang sebenarnya. Banyak yang menyamakan "sibuk" dan "produktif" padahal sebenarnya kedua kata tersebut sangat berbeda. Menurut Charles Duhigg, produktifitas adalah menentukan beberapa pilihan dalam beberapa cara yang mengubah seseorang dari "hanya sibuk" menjadi "benar-benar produktif". Produktif yang dimaksud yaitu bagaimana memanfaatkan dengan sebaik mungkin sumber daya (baik itu tenaga, waktu, dan pikiran) untuk memperoleh hasil yang optimal, bukan seberapa sibuk dan banyaknya output yang dihasilkan. Klik di sini untuk lebih lengkap tentang pengertian dan unsur produktifitas. Lalu, bagaimana cara meningkatkan produktivitas? Educa Studio punya beberapa tips bagi kamu yang ingin meningkatkan produktivitas, yuk simak penjelasannya: 1. Manajemen Waktu Hasil produktifitas tidak selalu dipengaruhi oleh seberapa keras kamu bekerja. Terkadang, orang yang bekerja paling keras malah menjadi orang yang paling banyak membuang-buang waktu. Maka hal pertama yang harus dilakukan jika ingin bekerja dengan lebih produktif adalah dengan memperbaiki Manajemen Waktu. Kalian bisa menggunakan matrix time management dari Eisenhower, yaitu dengan membuat prioritas berdasarkan hal yang "Penting" dan "Mendesak". Berikut penggambarannya: 2. Planning Membuat action planning penting untuk meningkatkan produktivitas. Tentukan apa saja goals yang ingin dicapai beserta durasinya, dalam perencanaan juga harus spesifik, realistik, dan juga sederhana. Bisa juga menyusun planning dengan mengacu pada teknik Kaizen yang memiliki arti "Berubah menjadi lebih baik" atau "Perbaikan terus-menerus". Kalian bisa memulainya dengan yang paling sederhana, yaitu membuat To Do List seperti contoh di bawah ini jika kalian belum terbiasa membuat action plan yang detail. 3. Upgrade Skill Sebelum membahas lebih lanjut, coba simak kisah dua penebang pohon berikut: Ada dua orang penebang pohon, mereka diberikan kapak yang tingkat ketajamannya sama kemudian diminta untuk lomba menebang pohon dengan batas waktu tertentu. Penebang pertama langsung memulai menebang pohon setelah diberikan kapak, sedangkan penebang kedua duduk sejenak dan mengasah kapaknya. Pada mulanya, jumlah pohon yang ditebang oleh penebang pertama lebih banyak. Akan tetapi, pada akhir perlombaan jumlah pohon yang ditebang oleh penebang kedua jauh lebih banyak dibandingkan penebang pertama dengan kualitas potongan yang lebih bagus pula. Dari cerita di atas, dapat disimpulkan bahwa skills (kapak) sebagai alat sangat berpengaruh terhadap tingkat produktivitas seseorang. Mulai upgrade softskill dan hardskillmu melalui berbagai pelatihan, kursus, webinar, maupun latihan serta belajar mandiri secara berkelanjutan. 4. Ubah produktivitas sebagai kebiasaaan Suatu hal jika sudah menjadi kebiasaan, maka akan lebih mudah untuk menjadikannya sebagai rutinitas. Hal yang sama berlaku juga untuk produktivitas. Ketika kamu menjadikan produktivitas sebagai kebiasaan, kamu akan dapat mencapai hal yang lebih besar lagi dalam kehidupan profesional maupun personal. Tidak mudah memang untuk menjadikan hal baru sebagai kebiasaan, bahkan paling cepat waktu yang dibutuhkan adalah 3 bulan. Akan tetapi hasil yang diperoleh pada akhirnya akan jauh lebih optimal dibandingkan hanya menerapkannya satu kali saja. Jika kamu ingin bekerja dengan lingkungan yang produktif, maka Educa Studio adalah tempat yang pas buat kamu! Klik di sini untuk melihat kesempatan karir di Educa Studio. Generasi muda kreatif!! Ayo kita bangun produk pendidikan yang CEMUMU (Cepat, Mudah, dan Muenyenangkan) bagi anak Indonesia dan dunia!
Apa itu Hustle Culture? Hai sobat! Apakah kalian pernah mendengar istilah Hustle Culture yang sedang nge-trend belakangan ini? Hustle Culture adalah nama keren dari Workaholic, yang pertama kali dikenalkan oleh Wayne Oates pada tahun 1971 dalam bukunya yang berjudul "Confession of a Workaholic: The Facts about Work Addiction". Pengertian dari Hustle Culture sendiri adalah suatu gaya hidup baru dimana seseorang menganggap dirinya akan sukses hanya jika dia terus bekerja dengan sedikit waktu untuk beristirahat. Seperti apa tanda orang yang mengalami fenomena Hustle Culture? Menurut Glicken dalam karyanya "The Truth about Workaholic" (2012), tanda yang paling jelas dari seorang workaholic adalah ketika pekerjaan dan segala hal yang berkaitan dengan pekerjaan menyita kehidupan seseorang dan mengabaikan segala sesuatunya. Machlowitz dalam bukunya yang berjudul "Workaholic" (1980) menyebutkan terdapat 6 ciri seseorang yang workaholic: 1. Sangat intens, enerjik, dan kompetitif Orang yang terindikasi workaholic biasanya dalam melakukan pekerjaan atau tugasnya terlihat sangat enerjik, intens atau sangat fokus, dan juga memiliki jiwa kompetitif yang tinggi. 2. Memiliki keraguan pada dirinya sendiri Biasanya, seseorang yang workaholic sering ragu-ragu apakah pekerjaannya sudah terselesaikan dengan benar? apakah dia boleh untuk beristirahat ketika masih ada pekerjaan yang belum selesai? apakah atasan akan puas dengan pekerjaannya? apakah dia akan sukses jika tidak terus melakukan tugasnya? dan keraguan-keraguan lain dalam dirinya. 3. Bekerja kapanpun dan dimanapun Seseorang yang workaholic sangat jarang terlihat beristirahat, karena dia akan selalu melakukan pekerjaan dimanapun dan kapanpun. 4. Menggunakan sebagian besar waktunya untuk bekerja Seperti poin sebelumnya, seorang worcaholic lebih sering terlihat bekerja dibandingkan saat ia beristirahat karena memang sebagian besar waktunya ia gunakan untuk bekerja dan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan. 5. Mengaburkan perbedaan antara kesibukkan dan kesenangan Saking seringnya si workaholic bekerja secara berlebihan, ia akan sulit untuk membedakan antara mana hal yang membuatnya sibuk dan yang membuatnya senang. Hal ini mungkin terjadi karena ia sudah terbiasa sibuk, jadi sering mengabaikan hal-hal kecil seperti kesenangan itu sendiri. 6. Memilih bekerja daripada beristirahat Secara umum, orang yang workaholic akan gelisah ketika dirinya tidak punya tugas. Ia akan merasa bersalah ketika dirinya beristirahat dan merasa bahwa dirinya tidak akan sukses jika tidak terus menerus melakukan pekerjaan. Loh.. terus bedanya dengan pekerja keras apa dong? Sekilas, memang hustle culture atau workaholic ini mirip dengan kerja keras. Tapi, keduanya sangat berbeda lhoo.. Berikut perbedaan workaholic dan pekerja keras menurut Ahmadi dan Asl (dalam Triani, 2021) dan Saul (dalam Glicken & Robinson, 2013): Kerja Keras Workaholic Pekerjaan adalah suatu kewajiban untuk memenuhi kebutuhan fisiologis Pekerjaan adalah sebuah tempat yang aman dari segala hal yang tidak diinginkan Mampu memberi batas dan mengelola pekerjaan, sehingga memiliki ruang dan waktu untuk keluarga dan teman Percaya bahwa bekerja lebih penting dari segalanya, termasuk keluarga dan teman Memiliki kontrol atas keinginan dan pikiran untuk bekerja Terus mengingat pekerjaan setiap detik meski sedang melakukan kegiatan lain Mampu beristirahat dari pekerjaannya Tidak bisa rehat dari pekerjaannya dan tidak bisa berhenti memikirkan pekerjaan Apa sih dampaknya bagi diri kita? 1. Hubungan sosial terganggu Seseorang yang terus-menerus bekerja, seringkali tidak memiliki waktu untuk orang di sekitarnya. Hal ini menyebabkan orang yang workaholic memiliki teman lebih sedikit dibanding mereka yang bekerja dengan waktu normal. Hubungan dengan keluarga juga sangat mungkin untuk merenggang karena sedikitnya waktu yang diluangkan. 2. Risiko penyakit kronis Berdasarkan salah satu artikel di laman milik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, penduduk Jepang mengalami peningkatan untuk penderita penyakit jantung dan stroke sebanyak 3x lipat akibat kelelahan bekerja. Iwasaki, dkk., (dalam Triani, 2021) menambahkan, ditemukan sekitar 300 kasus kerusakan hati dan otak di Jepang akibat budaya gila kerja. 3. Kesehatan mental menurun Menurut hasil survey di beberapa negara seperti Amerika, Inggris, Jepang, dan bahkan Indonesia, menunjukkan bahwa jam kerja yang lebih panjang bagi semua usia cenderung akan menimbulkan gangguan kecemasan, depresi, dan stress yang lebih tinggi. 4. Kematian Terdapat istilah karoshi yang ada di Jepang yang memiliki arti kematian yang timbul akibat beban kerja yang berlebih. Kematian ini dapat disebabkan oleh penyakit kronis maupun bunuh diri karena terlalu tingginya beban kerja seseorang. Hustle Culture vs Productive Culture Menurut Herjanto (2007) pada bukunya yang berjudul "Manajemen Operasi", produktivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa baik pengaturan dan pemanfaatan sumber daya untuk mencapai hasil yang optimal. Jam kerja bukan satu-satunya hal yang mempengaruhi produktivitas seseorang, namun juga seberapa besar kualitas dari pekerjaan tersebut. Kualitas pekerjaan mencakup lingkungan fisik dan sosial kerja, skills dan kemampuan kerja, upah/gaji, prospek karir masa depan, kualitas waktu kerja, dan intensitas pekerjaan (International Lobour Organization (ILO), dalam Triani, 2021). Jadi, percuma saja jika seseorang bekerja secara terus-menerus namun mereka mengabaikan aspek-aspek lainnya. Unsur dalam produktivitas menurut ILO (dalam Darmayanti, 2016) antara lain: 1. Efisiensi Menghasilkan hasil maksimal dengan menggunakan tenaga seminimal mungkin 2. Efektivitas Pekerjaan dapat selesai dengan baik dalam waktu yang singkat 3. Kualitas Hasil pekerjaan benar-benar dapat berguna dan memberikan dampak positif Produktivitas sangat sesuai dengan tagline Educa Studio LPG, dimana "P" nya adalah Productive. Educa Studio sangat memahami dampak negatif yang timbul akibat Hustle Culture sehingga menanamkan budaya productive sebagai upaya untuk menghindarkan Hustle Culture dari Educa Team. Bagi kalian Generasi Kreatif yang anti hustle culture, Ayo Merapat!! Mari kita hapuskan hustle culture dan dengan budaya produktif, kita bangun bersama produk dan layanan pendidikan yang CEMUMU (Cepat, Mudah, dan Muenyenangkan) untuk anak-anak di Indonesia dan dunia! Klik di sini untuk lihat kesempatan karir di Educa Studio. Sumber: Darmayanti, E. F. (2016). Analisis Produktivitas Kerja Karyawan Dikaitkan dengan Time Management. Akuisisi 12(2), 42-51. Fakultas Kedokteran UNAIR. (2022). Mengenal Hustle Culture: Budaya Gila Kerja Generasi Muda. Universitas Airlangga. diunduh dari: https://fk.unair.ac.id/mengenal-hustle-culture-budaya-gila-kerja-generasi-muda/ Glicken, M. D. (2012). The Truth about Workaholics. Diunduh dari: http://www.careercast.com/career-news/truth-about-workaholics Glicken, M. D., & Robinson, B. C. (2013). Workaholics: Treating Worker Dissatisfaction During Economic Change, 107–121. doi:10.1016/b978-0-12-397006-0.00006-3 Machlowitz, M. (1980). Workaholic: Living with Them, Working with Them. Boston: Addison-Wesley. Triani. (2021). Work-Life (Im)Balance: Memahami Hustle Culture Melalui Perspektif Ekonomi. Diunduh dari: https://himiespa.feb.ugm.ac.id/work-life-imbalance-memahami-hustle-culture-melalui-perspektif-ekonomi/